Upacara perkawinan adat pengantin Jawa sebenarnya bersumber
dari tradisi keraton. Bersamaan dengan itu lahir pula seni tata rias pengantin
dan model busana pengantin yang aneka ragam. Seiring perkembangan zaman, adat
istiadat perkawinan tersebut, lambat laun bergerak keluar tembok keraton.
Sekalipun sudah dianggap milik masyarakat, tapi masih banyak calon pengantin yang ragu-ragu memakai
busana pengantin basahan (bahu terbuka) yang konon hanya diperkenankan bagi mereka
yang berkerabat dengan keraton.
Pada dasarnya banyak persamaan yang menyangkut upacara
perkawinan maupun tata rias serta busana kebesaran yang dipakai keraton
Yogyakarta, Surakarta dan mengkunegara. Perbedaan yang ada bisa dikatakan
merupakan identitas masing-masing yang menonjolkan ciri khusus, dan itu justru
memperkaya khasanah budaya bangsa kita. Bertolak dari kenyataan tersebut, sudah
sering diselenggarakan sarahsehan yang berkenan dengan adat istiadat perkawinan
oleh kerabat keraton, agar masyarakat merasa mantap mendandani calon pengantin
dengan gaya keraton, sekaligus agar tidak terjadi kekeliruan dalam
penerapannya. Kali ini PENGANTIN menampilkan rangkaian upacara adat Pengantin
Jawa.
Serah-Serahan
Setelah dicapai kata sepakat oleh kedua belah pihak orang
tua tentang perjodohan putra-putrinya, maka dilakukanlah 'serah-serahan' atau
disebut juga 'pasoj tukon'. Dalam kesempatan ini pihak keluarga calon mempelai
putra menyerahkan barang-barang tertntu kepada calon mempelai putri sebagai
'peningset', artinya tanda pengikat. Umumnya berupa pakaian lengkap, sejumlah
uang, dan adakalanya disertai cincin emas buat keperluan 'tukar cincin'.
Pingitan
Saat-saat menjelang perkawinan, bagi calon mempelai putri
dilakukan 'pingitan' atau 'sengkeran' selama lima hari, yang ada pada
perkembangan selanjutnya hanya cukup tiga hari saja. Selama itu calon mempelai
putri dilarang keluar rumah dan tidak boleh bertemu dengan calon mempelai putra. Seluruh tubuh pengantin putri
dilulur dengan ramu-ramuan, dan dianjurkan pula berpuasa. Tujuannya agar pada
saat jadi pengantin nanti, mempelai putri tampil cantik sehingga membuat
pangling orang yang menyaksikannya.
Pasang Bleketepe/ Tarup
Upacara pasang 'tarup' diawalkan dengan pemasangan
'bleketepe' (anyaman daun kelapa) yang dilakukan oleh orangtua calon mempelai
putri, yang ditandai pula dengan pengadaan
sesajen. Tarup adalah bangunan darurat yang dipakai selama upacara
berlangsung. Pemasangannya memiliki persyaratan khusus yang mengandung makna
religius, agar rangkaian upacara berlangsung dengan selamat tanpa adanya
hambatan. Hiasan tarup, terdiri dari daun-daunan dan buah-buahan yang disebut
'tetuwuhan' yang memiliki nilai-nilai
simbolik.
Siraman
Makna upacara ini, secara simbolis merupakan persiapan dan
pembersihan diri lahir batin kedua calon mempelai yang dilakukan dirumah
masing-masing. Juga merupakan media permohonan doa restu dari para pinisepuh.
Peralatan yang dibutuhkan, kembang setaman, gayung, air yang diambil dari 7
sumur, kendi dan bokor.
Orangtua calon mempelai putri mengambil air dari 7 sumur,
lalu dituangkan ke wadah kembang setaman. Orangtua calon mempelai putri
mengambil air 7 gayung untuk diserahkan kepada panitia yang akan mengantarnya
ke kediaman calon mempelai putra. Upacara ini dimulai dengan sungkeman kepada
orangtua calon pengantin serta para pini sepuh.
Siraman dilakukan pertama kali oleh orangtua calon
pengantin, dilanjutkan oleh para pinih sepuh, dan terakhir oleh ibu calon
mempelai mempelai putri, menggunakan kendi yang kenudian dipecahkan ke lantai
sembari mengucapkan, "Saiki wis pecah pamore" ("Sekarang sudah
pecah pamornya").
Paes/ Ngerik
Setelah siraman, dilakukan upacara ini, yakni sebagai
lambang upaya memperindah diri secara lahir dan batin. 'Paes' (Rias)nya baru
pada tahap 'ngalub-alubi' (pendahuluan), untuk memudahkan paes selengkapnya
pada saat akan dilaksanakan temu. Ini dilakukan dikamar calon mempelai putri,
ditunggui oleh para ibu pini sepuh.
Sembari menyaksikan paes, para ibu memberikan restu serta
memanjatkan do'a agar dalam upacara pernikahan nanti berjalan lancar dan
khidmat. Dan semoga kedua mempelai nanti saat berkeluarga dan menjalani
kehidupan dapat rukun 'mimi lan mintuno', dilimpahi keturunan dan rezeki.
Dodol Dawet
Prosesi ini melambangkan agar dalam upacara pernikahan yang akan dilangsungkan, diknjungi
para tamu yang melimpah bagai cendol dawet yang laris terjual. dalam upacara
ini, ibu calon mempelai putri bertindak sebagai penjual dawet, didampingi dan
dipayungi oleh bapak calon mempelai putri, sambil mengucapkan :
"Laris...laris". 'Jual dawet' ini dilakukan dihalaman rumah.
Keluarga. kerabat adalah pembeli dengan pembayaran 'kreweng' (pecahan genteng)
Selanjutnya adalah 'potong tumpeng' dan 'dulangan'.
Maknanya, 'ndulang' (menyuapi) untuk yang terakhir kali bagi putri yang akan
menikah. Dianjurkan dengan melepas 'ayam dara' diperempatan jalan oleh petugas,
serta mengikat 'ayam lancur' dikaki kursi
mempelai putri. Ini diartikan sebagai simbol melepas sang putri yang akan
mengarungi bahtera perkawinan.
Upacara berikutnya, 'menanam rikmo' mempelai putri dihalaman
depan dan 'pasang tuwuhan' (daun-daunan dan buah-buahan tertentu). Maknanya
adalah 'mendem sesuker', agar kedua mempelai dijatuhkan dari kendala yang
menghadang dan dapat meraih kebahagiaan.
Midodareni
Ini adalah malam terakhir bagi kedua calon mempelai sebagai
bujang dan dara sebelum melangsungkan pernikahan ke esokan harinya. Ada dua
tahap upacara di kediaman calon
mempelai putri. Tahap pertama, upacara
'nyantrik', untuk meyakinkan bahwa calon
mempelai putra akan hadir pada upacara pernikahan yang waktunya sudah
ditetapkan. Kedatangan calon mempelai putra diantar oleh wakil orangtua, para
sepuh, keluarga serta kerabat untuk menghadap calon mertua.
Tahap kedua, memastikan bahwa keluarga calon mempelai putri
sudah siap melaksanakan prosesi pernikahan dan upacara 'panggih' pada esok
harinya. Pada malam tersebut, calon mempelai putri sudah dirias sebagaimana
layaknya. Setelah menerima doa restu dari para hadirin, calon mempelai putri
diantar kembali masuk ke dalam kamar pengantin, beristirahat buat persiapan
upacara esok hari. Sementara para pni sepuh, keluarga dan kerabat bisa
melakukan 'lek-lekan' atau 'tuguran', dimaksudkan untuk mendapat rahmat Tuhan
agar seluruh rangkaian upacara berjalan lancar dan selamat.
Pernikahan
Pernikahan, merupakan upacara puncak yang dilakukan menurut
keyakinan agama si calon mempelai. Bagi pemeluk Islam, pernikahan bisa
dilangsungkan di masjid atau di kediaman calon mempelai putri. Bagi pemeluk
Kristen dan Katolik, pernikahan bisa dilangsungkan di gereja.
Ketiga pernikahan berlangsung, mempelai putra tidak
diperkenankan memakai keris. Setelah upacara pernikahan selesai, barulah
dilangsungkan upacara adat, yakni upacara 'panggih' atau 'temu'.
Panggih (Temu)
Sudah menjadi tradisi, prosesi ini berurutan secara tetap,
tapi dimungkinkan hanya dengan penambahan variasi sesuai kekhasan daerah di
Jawa Tengah. Diawali dengan kedatangan rombongan mempelai putra yang membawa
'sanggan', berisi 'gedang ayu suruh ayu', melambangkan keinginan untuk selamat
atau 'sedya rahayu'. sanggan tersebut diserahkan kepada ibu mertua sebagai
penebus.
Upacara dilanjutkan dengan penukaran 'kembang mayang'.
Konon, segala peristiwa yang menyangkut suatu formalitas peresmian ditengah
masyarakat, perlu kesaksian. Fungsi kembang mayang, konon sebagai saksi dan
sebagai penjaga serta penangkal (tolak bala). Setelah berlangsungnya upacara,
kembang mayang tersebut ditaruh di perempatan jalan, yang bermakna bahwa setiap orang yang melewati jalan itu, menjadi
tahu bahwa di daerah itu baru saja berlangsung upacara perkawinan. 'Panggih'
atau 'temu' adalah dipertemukannya mempelai putri dan mempelai putra, yang
berlangsung sebagai berikut :
Balangan gantal/ Sirih
Mempelai putri dan mempelai putra dibimbing menuju 'titik
panggih'. Pada jarak lebih kurang lima langkah, masing-masing mempelai saling
melontarkan sirih atau gantal yang telah disiapkan.Arah lemparan mempelai putra
diarahkan ke dada mempelai putri, sedangkan mempelai putri mengarahkannya ke
paha mempelai putra. Ini sebagai lambang cinta kasih suami terhadap istrinya,
dan si istri pun menunjukan baktinya kepada sang suami.
Wijik
Mempelai putra menginjak telur ayam hingga pecah. Lalu
mempelai putri membasuh kaki mempelai putra dengan air kembang setaman, yang
kemudian dikeringkan dengan handuk. Prosesi ini malambangkan kesetiaan istri
kepada suami. Yakni, istri selalu berbakti dengan sengan hati dan bisa
memaafkan segala hal yang kurang baik yang dilakukan suami. Setelah wijik
dilanjutkan dengan 'pageran', maknanya agar suami bisa betah di rumah. Lalu
diteruskan dengan sembah sungkem mempelai putri kepada mempelai putra.
Pupuk
Ibu mempelai putri mengusap ubun-ubun mempelai putra
sebanyak tiga kali dengan air kembang setaman. Ini sebagai lambang penerimaan
secara ikhlas terhadap menantunya sebagai suami dari putrinya.
Sinduran/ Binayang
Prosesi ini menyampirkan kain sindur yang berwarna merah ke
pundak kedua mempelai (memperlai putra di sebelah kanan) oleh bapak dan ibu
mempelai putri. Saat berjalan perlaham-lahan menuju pelaminan dengan iringan
gending, Paling depan di awali bapak mempelai putri mengiringi dari belakang
dengan memegangi kedua ujung sindur. Prosesi ini menggambarkan betapa kedua
mempelai telah diterima keluarga besar secara utuh, penuh kasih sayang tanpa
ada perbedaan anatara anak kandung dan menantu.
Bobot Timbang
Kedua mempelai duduk dipangkuan bapak mempelai putri. Mempelai
putri berada dipaha sebelah kiri, mempelai putra dipaha sebelah kanan. Upacara
ini disertai dialog antara ibu dan bapak mempelai putri. "Abot endi
bapakne?" ("Berat yang mana, Pak) kata sang ibu. "Podo, podo
abote," ("Sama beratnya") sahut sang bapak. Makna dari upacara
ini adalah kasih sayang orangtua terhadap anak dan menantu sama besar dan
beratnya.
Guno Koyo - Kacar-kucur
Pemberian 'guno koyo' atau 'kacar-kucur' ini melambangkan
pemberian nafkah yang pertama kali dari suami kepada istri. Yakni berupa :
kacang tolo merah, keledai hitam, beras putih, beras kuning dan kembang telon
ditaruh didalam 'klasa bongko' oleh mempelai putra yang dituangkan ke pangkuan
mempelai putri. Di pangkuan mempelai putri sudah disiapkan serbet atau sapu
tangan yang besar. Lalu guno koyo dan kacar-kucur dibungkus oleh mempelai putri
dan disimpan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar